Monday 4 August 2008

Ghassan Kanafani: Sang Martir Palestina

Nama Lengkap : Ghassan (Fayiz) Kanafani

Tempat/ Tgl. Lahir : Yafa (Palestina), 9 April 1936

Profesi : Sastrawan dan Jurnalis

Istri : Anni Hoover Ghassan (berkebangsaan Denmark)

Anak : Fayiz dan Laila

Wafat Tgl. : Sabtu, 8 Juli 1972



Terusir dari Kampung Sendiri

Awal musim semi April 1936, seorang pengacara muda memboyong dua anak dan istrinya yang tengah hamil tua dari Yafa ke Akka, kota kecil di wilayah 48 Palestina. Mereka memang biasa berlibur ke rumah nenek mereka di kota itu. Rupanya, rencana berlibur berubah menjadi upacara menyambut kelahiran. Sang istri melahirkan seorang bayi yang diberi nama Ghassan.

Beberapa saat lamanya Ghassan tidak melihat Akka. Tiba-tiba sebuah serangan di malam buta membuat keluarga kecil itu kocar-kacir. Pengacara itu pun kembali membawa keluarganya ke Akka, kali ini bukan untuk berlibur tetapi untuk menyelamatkan diri. Pada saat itu usia Ghassan, putranya, baru sebelas tahun.

Sementara itu serangan Israel makin meluas hingga akhirnya mencapai Akka. Hanya setahun menikmati lembutnya angin di kota Akka, yaitu dari Tisyrin (November) 1947 hingga April 1948, lagi-lagi mereka dipaksa mengungsi ke desa kecil Tel Fakhar atau Tel Napoleon. Palestina sebagai wilayah yang aman sejak itu tinggal impian.

Dari sini perjalanan rupanya belum usai. Kafilah kecil itu kemudian berangkat menuju negara tetangga, Libanon, dengan menumpang sebuah truk. Di tempat baru yang bernama Shaida mereka kesulitan menemukan tempat tinggal yang layak. Dua hari dalam pencarian yang melelahkan, mereka akhirnya mendapatkan sebuah rumah. Itupun terletak di sebuah dataran tinggi, Ghaziyah.

Rupanya, lika-liku perjalanan yang melelahkan belum usai. Rumah baru itu terpaksa mereka tinggalkan karena biaya hidup di Ghaziyah terlalu tinggi. Dengan menumpang kereta api, mereka pindah lagi ke Halb, lalu ke Zabdani, dan berhenti sementara di Damaskus, ibu kota Suriah.



Damaskus yang Menyambut Hangat

Bagi Ghassan muda, Damaskus adalah tempat mengembangkan bakat di tengah kesulitan hidup yang menghimpit keluarganya. Kakak perempuannya yang bekerja sebagai guru amat mendukung bakat Ghassan. Ghassan semakin bersemangat. Di sela-sela kesibukannya membantu ayahnya di pengungsian, Ghassan sesekali diundang ke radio, menulis syair dan karya lainnya secara kreatif.

Bakat Ghassan semakin bersinar ketika ia duduk di bangku SLTA. Ia terlihat menonjol dalam sastra Arab dan pelajaran melukis. Selepas SLTA, Ghassan bahkan sempat mengajar di sekolah pengungsi di Damaskus, tepatnya di Sekolah Ilyanis. Kemudian Ghassan menimba ilmu dengan mengambil kuliah di jurusan sastra Arab Universitas Damaskus. Kampus baru ini pun menjadi ajang kreativitas bagi Ghassan. Bakat melukisnya ia kembangkan. Pada Pameran Internasional di Damaskus Ghassan mampu mengisi stan Palestina dengan karya-karyanya pribadinya. Namun sayang, pada tahun ketiga kuliahnya Ghassan di-drop out karena keterlibatannya dalam berbagai aktivitas politik praktis di luar kampus.



Kuwait yang Menjanjikan

Pada tahun 1955 Ghassan pindah ke Kuwait, mengikuti jejak kedua kakaknya yang lebih dulu hijrah ke sana. Di sana adik beradik itu bekerja sebagai guru, pekerjaan yang kemudian juga dilakoni Ghassan. Ghassan mengajar sebagai guru olah raga dan pelajaran melukis.

Di Kuwait, Ghassan tiba-tiba menjadi begitu rakus membaca. Satu buku setebal enam ratus halaman mampu ia tamatkan hanya dalam tempo satu hari. Di samping itu, kebiasaan menulisnya yang dulu pernah bersinar sewaktu di Damaskus kembali ia asah, hingga ia diterima bekerja sebagai redaktur di sebuah majalah yang bernama al-Ra¢y (Pendapat), dan dipercaya mengasuh kolom opini khusus politik ”Abu al-`Izz”.

Tulisan-tulisannya yang menarik di kolom itu dan lainnya membuatnya dilirik banyak pihak, terutama sepulang dari kunjungannya ke Irak pascarevolusi pada tahun 1958. Sambil mengajar dan menulis, kuliahnya yang sempat terlantar ia teruskan kembali dengan mengambil kelas jauh. Saat itu situasi politik sudah berubah sehingga Ghassan dibolehkan lagi mengikuti kuliah. Akhirnya, ia berhasil lulus dengan skripsi yang berjudul ”Etnis dan Agama dalam Sastra Yahudi”.

Bukan hanya itu, kecemerlangannya dalam bersastra pun mulai menuai hasil. Cerpen pertamanya yang berjudul ”Kaos Curian” (al-Qamish al-Masruq) mendapat juara pertama pada sebuah sayembara sastra. Namun, diam-diam penyakit diabetes menggerogotinya. Ia pun lebih banyak menghabiskan waktu di rumah sehingga membuatnya semakin dekat dengan kakaknya yang juga penderita diabetes, dan dengan puteri kakaknya, Lemis Najm. Kreativitasnya kemudian terdongkrak dengan menulis beberapa kumpulan karya yang ia hadiahkan kepada Lemis, gadis yang menjadi keponakannya itu.

Ghassan rupanya menginginkan tantangan yang lebih besar daripada Kuwait. Beirut, ibu kota Libanon, diputuskan sebagai kota berikutnya yang ia tinggali. Ia pindah ke Beirut pada tahun 1960 dengan bekerja pada Majalah al-Hurriya.



Tanah Merah Itu Bernama Beirut

Beirut rupanya menyambutnya dengan senyum sumringah. Dari Majalah al-Hurriya, Ghassan pindah bekerja ke Majalah al-Anwar, lalu al-Hawadits, sampai menjadi pimpinan redaksi Majalah al-Muharrir. Kecemerlangannya dalam bidang jurnalistik membuatnya dijuluki sebagai seorang jurnalis revolusioner. Di samping kesibukannya dengan pekerjaan-pekerjaan jurnalistik, tunaknya dalam bersastra tidak ia tinggalkan. Hasilnya, pada tahun 1966 ia dianugerahi penghargaan oleh Ashdiqa al-Kuttab, sebuah asosiasi penulis, atas novelnya yang berjudul ”Milik Kalian yang Tersisa” (Ma Tabaqqa Lakum). Selain itu, untuk semakin menyokong perjuangannya bagi bangsa Palestina, Ghassan mendirikan Majalah al-Hadaf pada tahun 1969. Bahkan, majalah yang kemudian menjadi corong perjuangan Palestina kepada dunia luar ini ia pimpin hingga wafat.

Pagi-pagi pada sebuah Sabtu, Ghassan bersiap-siap berangkat ke kantor. Istrinya, Anni Hoover, sibuk menyiapkan keberangkatan anak mereka ke sekolah. Setelah rapi, Ghassan segera menuju ke mobil yang diparkir di depan rumah. Ghassan disusul oleh Lemis karena sehabis dari kantor mereka akan bersama-sama pergi ke rumah nenek. Tidak berapa lama berselang sebuah ledakan keras terdengar. Anni terkejut dan berteriak, ”Ghassaaan...!” Kaca rumah Ghassan pecah berkeping-keping. Sementara di luar, tubuh Ghassan dan keponakannya Lemis bertebaran ke mana-mana. Sebuah bom telah meledak. Hari itu, tanggal 8 Juli tahun 1972, tercatat sebagai hari kematian Ghassan. Ghassan wafat pada usia yang masih sangat muda, 36 tahun.

Meski telah tewas, penghargaan justru semakin deras menghujani Ghassan. Pada tahun 1974 dan 1975 secara berturut-turut ia mendapat penghargaan dari Asosiasi Jurnalis Internasional dan penghargaan Lotus. Lalu pada tahun 1990, giliran Piagam Seni dan Budaya al-Quds yang jatuh ke tangannya. Anni Ghassan, isterinya, mendirikan Ghassan Kanafani Cultural Foundation (Yayasan Kebudayaan Ghassan Kanafani) untuk mengenang sang suami tercinta. Di samping itu, hari kelahirannya, 9 April, pun diperingati. Seperti Chairil Anwar di Indonesia, Ghassan Kanafani telah menjadi legenda sastra Palestina modern, yang karya-karyanya justru semakin mencuat dan banyak dibicarakan setelah ia meninggal.


Karya-karya Sang Martir

Sebagai seorang sastrawan, Ghassan sangat produktif berkarya. Dalam rentang waktu kurang dari dua dekade, terdapat belasan karya yang berhasil ia terbitkan. Antara lain enam buah novel, empat buah kumpulan cerpen, empat buah studi karya sastra, dan satu buah naskah drama. Padahal sehari-hari Ghassan juga sibuk bekerja sebagai jurnalis.
Selain itu, dari variasi karya yang ia hasilkan Ghassan adalah penulis yang piawai. Ia tidak hanya menulis cerita pendek, tetapi juga novel dan naskah drama. Bahkan karya Ghassan tidak hanya terbatas pada karya fiksi, tetapi juga non fiksi. Jangan lupa, Ghassan adalah sarjana sastra jebolan Universitas Damaskus.


Novel:

”Para Lelaki Matahari” (Rijal fi al-Syams), Beirut 1963 – telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan judul Men in the Sun.
“Milik Kalian yang Tersisa” (Ma Tabaqqa Lakum), Beirut 1966 – telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan judul All That's Left to You.
“Ummu Sa`ad” (Ummu Sa`d), Beirut 1969
”Yang Kembali ke Haifa” (`Aid ila Haifa), Beirut 1970
”Sesuatu yang Lain” (al-Syay’u al-Akhar), terbit pasca terbunuhnya Ghassan, 1980
“Sang Perindu, Si Buta dan Si Bisu . . . Buah Prem di Bulan April”
(al-`Asyiq, al-A`ma wa al-Athrasy . . . Barquq Nisan)
(Belum selesai), diterbitkan dalam Kumpulan Lengkap Karya Ghassan


Kumpulan Cerpen:

”Kematian di Ranjang No. 12” (Maut Sarir Raqm 12), Beirut 1961 – telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan judul Death of Bed No. 12.
”Tanah Oranye yang Sendu” (Ardh al-Burtuqal al-Hazin), Beirut 1963 – telah diterjemahkan dengan judul The Land of Sad Oranges.
”Tentang Para Lelaki dan Senjata” (`An al-Rijal wa al-Banadiq), Beirut 1968 – telah diterjemahkan dengan judul On Men and Rifles.
”Dunia Bukan Milik Kita” (`Alam laisa lana), Beirut 1970 – telah diterjemahkan dengan judul A World that is Not Ours.

Studi/Kritik Sastra:

”Perlawanan di Tanah Palestina Yang Terjajah 1948-1966” (al-Muqawamah fi Filasthin al-Muhtallah 1948-1966), Beirut 1966
”Sastra Palestina dalam Belenggu Penjajahan” (al-Adab al-Filasthini al-Muqawim tahta al-Ihtilal), Beirut 1968
”Tentang Sastra Yahudi” (Fi al-Adab al-Shahyuni), Beirut 1967
”Revolusi di Palestina 36-39: Latar, Uraian Rinci dan Analisis” (Khalfiyyat wa Tafashil wa Tahlil Tsaurah 36-39 fi Filasthin)



Naskah Drama:

”Pintu, Topi dan Seorang Nabi. . . dan Beberapa Yat Lainnya” (al-Bab, al-Qubba’ah wa al-Nabiyy...Yat Ukhra)
Karya lengkapnya terbit dalam empat jilid, yang memuat seluruh novel, cerpen, naskah drama dan kajian analitis.


Kontributor: Misran
Telah dimuat dalam Majalah Sastra Sagang, edisi April 2008.